Senin, 07 Juli 2008

Menyuarakan Yang Tak Bersuara



Yayasan Bina Mandiri Utama disingkat YABIMU adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat (non government organization) di tanah Papua yang boleh dibilang mengabadi cukup lama. Terobosannya sudah dan sedang dirasakan oleh masyarakat diwilayahnya. Salah satu program yang cukup trand sekarang adalah pengadaan mesin kopi untuk mengangkat Kopi Murni Moanemani yang memang sudah lama punah dari pasaran. Berikut kita ikuti visi dan misi yaitu Menuju Masyarakat Mandiri (3M) seperti yang terungkap pada perayaan 11 tahun YABIMU di Tanah Papua.

Awalnya yayasan ini berbentuk kelompok, di Parung Bogor, dengan memulai usaha peternakan ayam broiler. Menurut salah satu dewan pendiri, pada saat acara hari ulang tahun ke-11 yang diselenggarakan di Kantor Yabimu (5/5) lalu, jumlah ternak ayam melonjak sampai 25.000 ekor. Ini cukup berhasil dan Kelompok Bina Mandiri itu bisa mandiri, membiayai studinya tanpa dukungan orang lain. Walaupun sebelumnya, pemerintah RI menutup subsidi Belanda seperti CEBEMO dan IGGI lewat keuskupun tanpa alasan yang jelas.

Selanjutnya, kelompok kecil tadi itu bertekad mendirikan sebuah Yayasan dan diberi nama Yayasan Bina Mandiri Utama (YABIMU). Dengan motto, “kalau mau jadi besar – mulailah dari kecil” (ibookaine kipeko – tidee make keiti), boleh dibilang cukup berhasil. Kantor yang tadinya di Parung Bogor Jawa Barat itu, dibuka kantor pusatnya di tanah Papua, tepatnya di Jl Pipit Kaliharapan Nabire.

Sebagai lembaga yang bergerak dibidang ekonomi kerakyatan, usaha peternakan ayam dipusatkan di Nabire. Di belakang kantornya sempat dibangun kandang ayam dengan ukuran besar dan pernah panen beberapa kali. Untuk memperlancar, menajemen dirombak dengan didukung intelektual pribumi yang memang sudah lama berkecimpung dalam dunia swasta.

Menurut Direktur Yabimu, Ambrosius Degey SH, pada Haul ke 11 itu banyak rintangan tantangan yang dihadapi YABIMU dalam pengembangan ekonomi rakyat, termasuk beberapa bidang isu lain yang diemban sejak pindah dari Parung ke Nabire. Salah satunya yang mematikan usaha ternak adalah krisis monoter yang melanda Indonesia dan harga ternak pun melambung. Sementara itu, menurut Frans Tekege, mantan Direktur Eksekutif yang kini anggota legislatif Nabire, yang membuat YABIMU mandi keringat adalah kapal yang mengangkut pakan ternak dari Jawa ke Papua tenggelam di tengah jalan.

Pukulan yang paling berat, terakhir Kantor YABIMU hancur berantakan oleh dua kali gempa bumi maha dasyat yang melanda Nabire pada 6 Februari dan 26 November 2004 lalu. YABIMU harus luntang lantang mencari donator kiri kanan. Syukur ketemu Nurani Dunia, PPKM/CRP dan UNDP dan kantor YABIMU kembali berdiri megah, lebih megah dari kantor sebelumnya karena dua tingkat dan konstruksinya tahan gempa.

Gempa Nabire yang memporak-porandakan gedung-gedung di Nabire membuat YABIMU tidak tinggal diam. Melalui direktur baru, Ambrosius Degey, mulai melobi ke berbagai lembaga donor dan hasilnya, sejumlah gedung TK dan SD Islam, Protestan dan Katolik dibangun kembali. Ucapan syukur dari anak didik, orang tua murid mulai berdatangan, Yabimu pun mulai sedikit demi sedikit dikenal di kalangan masyarakat akar rumput hingga masyarakat yang sudah terlembaga, LSM.

Kegiatan semacam inilah yang selanjutnya lebih banyak diemban YABIMU dalam mengemban misinya – menuju masyarakat mandiri – sambil mencari prospek baru untuk kembali ke pekerjaan awalnya yaitu mengembangkan dibidang perekonomian.

Kata Ambros, lembaganya baru selesai melaksanakan Lokakarya bersama masyarakat Mapia untuk berusaha bangkit kembali mengangkat kopi Arabica pedalaman yang selama ini manisnya dikenal lewat kemasan Kopi Murni Moanemani. Prospek inilah yang selanjutnya akan diemban YABIMU dengan mengupayakan akses pasar dan akses lain yang bisa mendukung berkembangnya perekonomian rakyat pedalaman Papua.

Hasil lokakarya, ada sekitar 8 rekomendasi yang ditetapkan. Salah satunya ditujukan langsung kepada Ketua DPRD Kabupaten Nabire, Daniel Butu yang hadir langsung dalam lokakarya tersebut. Masyarakat Mapia dan Kamuu meminta agar dalam tahun anggaran ini juga dibangun jalan keliling Mapia dan jalan keliling Lembah Kamuu. Rekomendasi ini, pada Rakorbangda lalu, kemudian dalam sidang APBD kemarin, diperkuat oleh salah satu anggota DPRD asal Mapia, Natalis Kotouki, Daniel Mote, Dianus J Youw, Frans Tekege dan anggota dewan terhormat yang lain, sudah meng-gol-kan jalan keliling Dogiyai itu.

Menurut Ambros, sekitar 9 millyar akan diplotkan untuk survei dan pembukaan jalan darat. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, seperti yang diutarakan Pastor Nato Gobay yang hadir dalam evaluasi pada Haul 11 Yabimu itu; apakah dengan hadirnya jalan itu masyarakat pedalaman sudah siap atau akankah menguntungkan ‘pendatang’ yang nota bene sudah siap.

“Ini menjadi PR bagi YABIMU ke depan”, ujar Pastor Nato yang sudah cukup lama berjuang bagi HAM – Hak Asasi Manusia yang salah satunya adalah hak ekonomi rakyat kecil. Kata Pastor Nato, kalau YPPK atau YPK memang jelas arah perjuangan mereka di bidang pendidikan. YABIMU memang sejak awal sudah mulai dengan pengembangan ekonomi, maka, jangan lupa tolong rakyat pedalaman yang miskin papa, lugu dan gampang ditipu oleh mereka yang ingin menguasai tanah air dan harta moyang baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan.

Menyuarakan Yang Tak Bersuara

YABIMU setelah dihadang gempa dan krisis monoter telah jelas arah perjuarangan mereka. Ia mulai menggandeng LSM yang ada di Nabire, baik yang selama ini diperhatikan pemerintah daerah maupun yang tidak. Mereka menyatukan langkah bertanya kepada Pemda, mana bagian mereka dari OTSUS itu. Sebab membina – mendampingi – dan membangun rakyat kecil tidak hanya dilakukan oleh Pemda, tetapi yang lebih menyentuh dengan indikator yang jelas lebih banyak dilaksanakan LSM lokal. Hasil dari beberapa kali pertemuan itu, pemerintah kabupaten Nabire tidak tutup mata dan telah memberikan dukungan modal. Bahkan menurut Pastor Nato, dana-dana yang dibantu itu tidak sedikit.

Ini salah satu kelompok masyarakat yang tak bersuara, tetapi akhirnya bisa mendapat hak mereka sebagai warga OTSUS berkat jaringan yang dibangun YABIMU.

Kelompok tak bersuara lain adalah, kelompok koperasi yang ada di Mapia dan lembah Kamuu. Terakhir YABIMU memberi penguatan kepada KUD, KSP dan Usaha Mikro yang ada di Kabupaten Paniai. Rakyat Mapia mengaku, pendampingan yang dilakukan LSM YABIMU lebih bagus karena berkesinambungan. Dan memang itulah LSM. Pemerintah paling-paling kasih modal saja, tetapi untuk mengembangkan modal itu tanggung jawab kelompok. Disitulah dibutuhkan dibutuhkan peran LSM untuk mendampingi rakyat. Bagian inilah yang mesti dimengerti, daripada saling cemburu buta satu sama lain.

Kelompok masyarakat yang selama ini tak bersuara adalah kelompok ibu-ibu. Bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, paling dibungkus mati dalam rumah, istri atau suami menjadi korban kekerasan. Karena itu pula YABIMU memberi keprihatian kepada mereka, terutama ibu-ibu yang ada di pedalaman Paniai. Di bidang demokratisasi dan dan pemberdayaan masyarakat sipil, Yabimu ikut memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Advokasi untuk membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa, membangun sistem perencanaan dan pengawasan pembangunan secara partisipatif serta pembinaan generasi muda melalui berbagai kegiatan pengembangan potensi diri.

Bicara soal kaderisasi generasi muda, YABIMU adalah salah satu pentolan di tanah Papua yang mengkaderkan banyak pemimpin di tanah Papua. Ada yang menjadi Ketua DPRD, anggota DPR, camat, polisi, wartawan, guru, PPL, karyawan Freeport, dan bahkan ada yang sudah menjadi bupati.

Dalam evaluasi bersama stakeholder pada HAUL YABIMU yang ke-11 itu, terungkap bahwa, YABIMU memang tidak punya modal abadi. Kader-kader YABIMU pun seakan tak bersuara menyuarakan yang biasa bersuara itu.

Rabu, 25 Juli 2007

Banyak Program, Tapi Rakyat Tetap Miskin



Di tengah kesibukan pemerintah menghitung statistik pertumbuhan ekonomi, membuat jalan, pasar, pembangunan kantor-kantor pemerintahan dan pembangunan lainnya, hingga rencana mendigitalkan masyarakat melalui CDMA, terselip ironi kehidupan rakyat yang serba kekurangan. Bagaimana kiprah pemerintah daerah mengentaskan rakyat yang miskin?

Di sudut kota Nabire, ada bangunan kumuh berukuran sekira 2,5 x 4 meter persegi. Sedemikian kecil dan sempit. Begitu masuk, tamu langsung berhadapan dengan deretan lemari dan kasur tipis dilapisi tikar sebagai tempat tidur, satu meja makan yang telah lapuk termakan usia. Tak ada televisi. Fasilitas penerangan dengan lampu yang terbuat dari dari botol Kratingdaeng diisi minyak tanah dan diberikan sumbu. Ruang tamu resmi juga tidak ada. Jika ada yang bertamu ke yang punya rumah akan digelar tikar.

Di petak kecil itulah Gobaimaga (42) tinggal. Ia seorang ibu rumah tangga yang sekaligus pekerja keras sebagai pedagang kecil dengan modal pas-pasan membeli ayam dan tahu untuk dijual di Enarotali dan di daerah pendulangan emas, Wege. Setiap sore Ibu Martina membeli ayam dan tahu di peternakan atau dipasar dengan harga Rp. 20.000,-/ekor sebanyak 5 ekor dengan modal Rp. 100.000,- dan membeli tahu seharga Rp.2.000,-/buah sebanyak 10 buah dengan modal Rp. 20.000,-. Selanjutnya ayam tersebut dimasukkan dalam keranjang dan tahunya di potong seukuran yang telah ditentukan lalu di goreng dan keesokkan paginya, sekitar jam 05:00 pagi, ibu Gobay bergegas mengangkat barang dagangannya dengan menyewa ojek untuk di bawah ke Airport / Bandar Udara Nabire.

Sesampainya di airport, barang dagangan tersebut di kirimkan dengan menggunakan pesawat, kalau nasibnya lagi mujur dagangannya diterima oleh Operator Penerbangan / Jasa Transportasi untuk di kirim ke Enarotali ataupun ke lokasi pendulangan emas dengan ongkos yang berfariasi dengan harga yang sangat tinggi, terkadang uang mereka tidak cukup untuk membayar ongkos angkut pesawat baik Helikopter ataupun Twin Otter, sehingga barang merekapun diturunkan atau dikurangi beratnya, karena tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan tarif angkutan pesawat. Dan yang lebih menyedihkan sekali barang dagangan mereka yang akan dikirim terkadang tidak dilayani, oleh Operator Penerbangan dengan berbagai alasan misalkan ; Angkutan Cargo telah penuh terisi dengan barang dagangan customer lain, barang yang mereka kirimkan tidak layak, kotor, bau. Ataupun juga pihak pencharter tidak menginginkan barangnya dicampur oleh barang dagangan yang lain, hal ini dikarenakan merekalah yang membayar penuh pesawat tersebut, sehingga pihak operator rela untuk tidak melayani dari pada kehilangan marketnya dan masih banyak hal-hal yang lainnya yang selalu menghambat kegiatan usaha Martina.

Terkadang juga mereka dibantu oleh Operator Penerbangan, ataupun pengusaha yang mencharter pesawat. Dengan syarat tarif angkutan pesawat, yang tentukan pencharter. Hal inipun kadang terjadi, dan itupun kalau muatan yang diangkut sangatlah kurang dan hanya untuk menutupi kekurangan muatan pada pesawat.
Hidup dengan menafkahkan 3 anak-anaknya, terlebih hanya berbekal jebolan SD, membuat ekonomi keluarga Martina serba pas-pasan. Bisa dibayangkan, betapa sulit bagi Martina untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum lagi kalau anak-anaknya pada sakit, anak-anak yang seharus menikmati bangku sekolah tidak dapat terpenuhi karena keadaan ekonominya. Bukan hanya Martina yang mengais hidup seperti itu tetapi masih banyak teman-temannya yang berprofesi seperti itu. Kalau ditelusuri mereka tersebut merupakan penduduk asli yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dalam bekerja dan berusaha yang berjuang menghadapi kerasnya kehidupan dengan berbekal ilmu dan pengalaman yang seadanya.

Di wilayah Kota Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai, penduduk yang hidup serba kekurangan seperti Martina sangatlah banyak. Apalagi di Pedalaman Kabupaten Paniai dan Kabupaten Nabire, ratusan dan bahkan bisa mencapai puluhan ribu. Di pedalaman penduduk hidup serba kekurangan, fasilitas pendidikan, kesehatan dan yang lainnya sangat minim dan tidak memadai, hal inipun tambah dipersulit oleh susahnya sarana transportasi baik darat maupun udara. Sebagian besar masyarakat miskin, hidup hanya dengan berharap dari ubi-ubian dari hasil kebun mereka sendiri, tanpa pernah merasakan seperti apa kehidupan masyarakat di kota.

***

Untuk mendefinisikan kemiskinan tersebut, Pemerintah Pusat membuat kriteria berdasarkan beberapa pendekatan. Seperti yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), pemerintah memaknai kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau kelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan secara bermartabat. Pendekatan yang digunakan meluiputi: basic needs (menekankan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar sebagai sumber kemiskinan; income poverty(menekankan keterbatasan kemampuan dasar untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat); social welfare (tekankan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan); serta subjective (cara pandang kemiskinan dari susut orang miskin”, pandangan orang miskin sendiri).

Dari situ disusun beberapa indikator, di antaranya; akses dan mutu pendidikan yang rendah; kesempatan kerja dan berusaha yang terbatas; ketersediaan perumahan dan sanitasi yang minim; lemahnya jaminan rasa aman; lemahnya partisipasi; hingga besarnya beban kependudukan akibat dari besarnya tanggungan keluarga berikut tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.

Dari definisi global dalam definisi keluarga miskin dalam memaknai keluarga miskin, “…orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan.”“Orang miskin itu, lemah dalam segala hal, pendidikan, materi akses dan daya saing. Kalau numpuk jadi satu sangat berat, sudah tidak mempunyai ketrampilan, tidak punya modal itu khan susah.”!

Berangkat dari kerangka pikir ini, maka digulirkanlah berbagai skema program penangulangan kemiskinan. Baik dari Pemerintah Pusat ataupun dari Pemerintah Daerah, secara umum Pemerintah memberikan dua bentuk bantuan. “Jadi bentuk bantuannya bisa dibagi dua. Satu penyelamatan, satunya lagi pengembangan. Yang menyelamatkan itu untuk memperingan beban Pemerintah. Jangka pendek, termasuk RASKIN, kemudian bantuan bea siswa sekolah dan lain-lainnya.

Yang bersifat penyelamatan ini misalnya raskin atau Program Beras Untuk Keluarga Miskin. Raskin diorientasikan sebagai bantuan kesejahteraan sosial atau bantuan perlindungan sosial bagi keluarga miskin. Raskin juga ditujukan untuk menjaga daya tahan pangan gakin agar tetap mampu membeli beras. Programnya berupa penjualan beras murah sebanyak 20 kg/bulan dengan harga Rp. 1.000/kg. Adapun contoh bantuan lainnya BLT (Bantuan Langsung Tunai). BLT merupakan kompensasi pemerintah kepada masyarakat miskin atas dicabutnya subsidi BBM. Dengan BLT diharapkan keluarga miskin tetap bisa mempertahankan daya belinya. Dan masih banyak lagi skema bantuan dari pusat yang sifatnya langsung.

Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk dan memperdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahawan, manajemen, yang disertai pula dengan pendampingan asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia.

Meski telah menerima bantuan seperti BLT, maupun beasiswa untuk sekolah, itu semua belumlah cukup. Naiknya harga BBM membuat harga sembako menjadi berlipat mahal khususnya di daerah pedalaman yang hanya dapat dijangkau dengan transportasi udara. Mahalnya sarana transportasi angkutan sangatlah memperburuk keadaan saudara kita di Pedalaman. Ditambah raskin yang biasa mereka terima kini terhenti”! Akibat dampak dari kenaikan BBM inflasi naik dua kali lipat. Artinya, biaya hidup pasca kenaikan BBM menjadi naik, pengawasan dan pelaksanaan pendistribusian beras raskin tidak jelas, sehingga ada beras raskin yang seharusnya diterima masyarakat dengan harga Rp. 1.000/Kg, akan tetapi terjual di kios-kios di pedalaman dengan harga Rp. 10.000/Kg, sedemikian rupa keadaannya sehingga kian merosotnya derajat hidup masyarakat di pedalaman, sangatlah Ironis”!

Sedari mula, munculnya program seperti BLT atapun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan, malah dimanfaatkan sebagai lumbung koruptor. Hal ini juga memberi gambaran tentang program tersebut yang memberikan dan “dampaknya seperti orang dikasih ikan yang langsung habis. Kalau kita memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari ikan sendiri”.

Bantuan yang sifatnya “ikan” tersebut memiliki imbas buruk. Bisa membuat orang tergantung pada Negara. Mereka pun membandingkan kebijakan jaminan sosial di luar negeri dengan di Indonesia. “Kalau di Belanda memang orang nganggur diberi tunjangan. Tapi orang diberi tunjangan itu malu. Lain halnya dengan Indonesia. Kita diberi SLT Rp. 100 ribu per bulan, semuanya ngaku miskin. Dan kadang pembagian SLT pun udah diatur, sehingga yang berhak menerima tidak kebagian. Apakah hal ini dibedakan karena suasana di Indonesia dengan di sana berbeda.

Agar tidak ada tumpang tindih antar program, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dan revisi terhadap program yang ada. Kalau sudah ada dari pusat dan propinsi, pemerintah daerah agar mengalihkan kepada yang lain, “sesuai kebutuhan. Yang penting ada sinergi dan saling menguatkan.

Seharusnya Pemerintah Daerah membentuk Komite Panangulangan Kemiskinan. Dan KPK berfungsi sebagai badan yang mensinergikan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada di berbagai dinas yang kini sedang berjalan. Demi menjembatani berbagai instansi yang memiliki data masing-masing sesuai dengan tupoksinya. KPK berupaya menyusun pendataan data secara “satu pintu”. Namun pembuatan program berikut dananya tetap dipegang instansi bersangkutan. “Misalnya nanti ada laporan ke KPK tentang anak-anak yang drop out atau tidak dapat melanjutkan sekolah di pedalaman karena keterbatasan fasilitas pendidikan dan biaya, sehingga mereka ingin melanjutkan pendidikan di Kabupaten, kita tinggal mencocokkan ini programnya siapa? Kalau dinas pendidikan, maka kita serahkan kesana.. KPK hanya mengolah dan merekomendasikan data."

Di atas kertas, komitmen Pemerintah untuk mengembangkan ekonomi rakyat tidak diragukan lagi. Setiap masyarakat dibentuk kelompok, diberi modal motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya ditingkatkan, aktivitasnya didampingi serta dikontrol kinerjanya. “Sebenarnya, ini dari sisi pemerintah dulu, untuk UKM pemerintah semakin lama semakin baik. Banyak fasilitas yang diberikan untuk UKM termasuk mengakomodasi yang “mikro” tidak hanya “kecil”. Tetapi memang tatanan implementasinya, kadang-kadang belum tepat sasaran. Dari pengalamannya dalam mendampingi puluhan UKM, di sejumlah daerah banyak UKM yang membutuhkan modal justru tidak mendapatkan bantuan.

Terlepas dari persoalan bentuk bantuan maupun hal-hal teknis lainnya, perlu ditekankan kejelasan paradigma dalam kebijaksanaan penanganan kemiskinan. Faktanya banyak terjadi gejala kontradiktif. Pemerintah giat membantu permodalan UKM tapi disisi lain, kebijaksanaan manaikan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry.

Ini semua merupakan tipikal paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang cepat, sektor modern-padat kapital harus diutamakan demi pertumbuhan pula, investasi industri produksi maupun retail direlakan menggusung tempat tinggal sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin.

Logika, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Dan investasi bisa terjadi jika program rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu menyuntikkan dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet. Perusahaan-perusahaan besar milik konglomerat harus ditolong kredit baru lagi agar pabrik-pabriknya bisa bekerja lagi dan perlahan mulai mengangsur hutangnya. Itu namanya “Neoliberalisme di mana-mana.

Hal inipun berdampak terhadap masyarakat miskin, (Pemerintah) kita menghajar orang miskin, penggusuran di mana-mana, soal tanah dan segala macamnya.

“Kredit itu kan disalurkan melalui bank. Dan mereka minta agunan. Sedangkan rakyat kecil tidak punya angunan. Misalnya disuruh pakai sertifikat tanah. Justru dia itu Landless, tidak punya tanah, kok disuruh pakai sertifikat tanah. Orang kecil butuh kredit, tapi ia harus menunjukkan kalau ia tidak butuh kredit”. Memang urusan kredit tidaklah mudah, terlalu banyak variasi yang bikin repot. “Katakanlah, bank jangan terlalu banyak variasi. Kreditnya satu bangunan aja. Yang penting dijamin Negara. Itu kalau kita mau pro-rakyat’.

Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana Negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, satu lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketidakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi dimana seseorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian”, bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor semacam Word Bank dan IMF, semisal Program Jaminan Pengamanan Sosial (JPS), P2KP, merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.

Semua ini sangat memprihatinkan. Semestinya program pengentasan kemiskinan berkelanjutan, terlembaga, dan memposisikan pemerintah pada peran yang sentral. Skema adjustement sebenarnya meminggirkan peran asli Negara. Demi reformasi ekonomi, seperti yang terjadi, dana publik mesti dialihkan untuk mengobati perbankan milik segelintir penguasa. Sementara untuk mengentaskan orang miskin, “dananya dari hutang”. Sudah begitu, program yang dilakukan semata-mata sebagai “penyesuaian” sebelum diterapkan pasar bebas.

Persoalan kemiskinan, bukanlah faktur individual melainkan lebih pada tiadanya akses bagi orang miskin atas fasilitas dari kebijakan pemerintah. Fasilitas ini berwujud perlindungan, pengakuan, dan jaminan untuk bisa mencari penghidupan ekonomi. “Yang paling terlihat adalah kasus sektor informal yang tidak diakui identitasnya, lalu keberadaannya disingkirkan dengan operasi ketertiban atau penggusuran dari Satpol PP. Gerobaknya diambil atau trotoarnya dipersempit”. Pemberdayaan ekonomi kelompok masyarakat lemah, dalam hal ini UKM, tak akan banyak berpengaruh jika pengakuan dan jaminan berusaha mereka tidak dijamin.

Dan seharusnya kita perlu mendudukkan dilema kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional. Dalam realitasnya, keduanya tak bisa dipisahkan. “Setelah punya modal, berjualan sayur, ubi pendapatan sehari Rp. 20 ribu. Begitu sakit, tempat jualan atau dagangan semua dijual. Gara-gara apa, nggak ada kartu sehat”.

Bantuan langsung akan membuat orang miskin malas dan tergantung Negara. Syaratnya sasaran, kriteria, mekanisme, semua harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekedar proyek yang sifatnya sporadik. Lebih-lebih hanya sebagai kompensasi dicabutnya subsidi tertentu maupun bagian dari program SAP yang dananya hutang.

“Bagi kita, kalau rakyat miskin mau sejahtera harus dipenuhi hak-hak dasarnya dulu. Tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan kesehatannya diperhatikan. Konsep jangka panjang kita dalah pemenuhan hak-hak dasar dulu, dan kesejahteraan itu akan datang beriringan”. Ini semua tidak bisa ditawar agar jumlah orang miskin saat sebenarnya bisa hidup sejahtera segera berkurang.

YAPKEMA Bangun Ekonomi Sejak Usia Dini




Salah satu terobosan baru yang sedang dibangun Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) dalam rangka menggalakkan ekonomi rakyat Kabupaten Paniai dengan memperhatikan anak didik, mulai dari tingkat SD, SLTP hingga SLTA. YAPKEMA telah membentuk lima kelompok masing-masing di wilayah Kebo dan Paniai Barat, dengan memberikan bibit ternak ayam dan bebek agar anggota kelompok yang terdiri dari anak-anak usia dini itu bisa belajar berorganisasi, tabung-menabung dan menjual hasil ternak antara anggota kelompok itu sendiri maupun kepada konsumen lain.

"Ini sangat penting", ujar Direktur YAPKEMA, Hanock Pigai belum lama ini di Nabire.

Kalau kita mau bangun ekonomi rakyat, ujarnya, maka teori dan prakteknya kita harus tanam mulai dari usia dini. Kalau kita ajak masyarakat kembali ke kebun setelah menjadi dewasa, jangan harap, masyarakat itu tidak akan kerjakan ajakan itu. Maka kalau mau membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki wawasan untuk wiraswasta, maka mulai dari anak kecil.

Ingatan peristiwa-peristiwa pada masa kecil merupakan salah satu intuisi yang sangat kuat
untuk diingat dalam memori setiap otak manusia. Seseorang yang pada masa-masa kecil suka menonton orang bermain gitar atau bernyanyi, maka setelah menjadi besar, ia akan mencoba meniru kembali apa yang ia pernah saksikan pada masa-masa kecil. Oleh karenanya, apabila orang lain mulai mengajak untuk mengerjakan sesuatu yang ia pernah alami atau saksikan pada masa-masa kanak-kanak (muda), maka hal itu akan cepat dilaksanakan dan akan mudah diikuti.

Begitupun dalam membangun ekonomi rakyat, mestinya dimulai dari apa yang ia bisa kerjakan dan kelolah. Tidak hanya karena mau ‘tadah' bantuan sehingga setiap warga ingin mendirikan koperasi misalnya. Koperasi itu tidak akan berjalan maksimal, sehingga disitu butuh dukungan dan bimbingan dari lembaga yang berkompoten dibidangnya.

Ujar Pigai, kecuali kalau kelompok atau orang perorang itu punya bayangan pengalaman di masa lalu akan pentingnya berkoperasi, pentingnya simpan pinjam, pentingnya musyawarah untuk mufakat, pentingnya berdemokrasi dan lain sebagainya.

Lanjutnya, masyarakat pedalaman Paniai sudah mempunyai modal besar yaitu bertani dan beternak. Dari moyangnya sudah membudaya. Hanya saja setelah pemerintahan mulai hadir dengan berbagai tawaran globalisasi yang ‘ngebeng' dibelakangnya, masyarakat sudah mulai lupa dengan tradisi masa lalu. Kebun mereka ada di kantor-kantor. Kebun mereka ada di pejabat-pejabat. Disitulah butuh kerja keras, baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mencoba secara pelan-pelan untuk membalikkan image berharap kepada image berjuang dengan mengeluarkan keringat. Dengan adanya modal itu, yaitu bertani dan beternak, masyarakat sudah bisa berdaya upaya sendiri untuk membangun kehidupan ekonomi mereka.

Dalam rangka itu, salah satu upaya / program yang sedang digalakkan YAPKEMA yang menjadi tawaran program pembangunan untuk membangun ekonomi rakyat di wilayah pedalaman Paniai adalah dengan membentuk kelompok-kelompok usaha bagi pelajar usia dini.

Kata Pigai, bila program yang sedang diemban di Kebo dengan Paniai Barat itu berhasil, maka akan dicoba dikembangkan di wilayah lain. Kepada kelompok yang sudah terbentuk, sudah diberikan dukungan moril dan materil dan ini juga menjadi tawaran kepada pemerintah daerah untuk turut memperhatikannya.

Yabimu Ikut Mendukung Program Pemda

Direktur Eksekutif Yayasan Bina Mandiri Utama (Yabimu) Nabire, Ambrosius Degey, SH mengatakan, Yabimu tetap menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah khususnya dengan pengambil keputusan di daerah ini. Namun Yabimu tetap menghendaki independensi lembaga diutamakan, tidak asal mengikuti apa yang dikehendaki penentu kebijakan di daerah ini.

Karena tujuan Yabimu dan arah pembangunan dari pemerintah tetap sasarannya sama-sama kepada masyarakat. Tujuan akhir dari Yabimu dan pemerintah daerah adalah bagaimana membangunan Kabupaten Nabire dan membangun masyarakat di daerah ini.

Ia menambahkan, selain menjalin kerjasama dengan pemerintah, Yabimu juga
membangun kemitraan dengan sesama lembaga swadaya masyarakat yang sudah berkarya di daerah ini seperti Project Concern International (PCI) dan Primary. Penegasan tersebut disampaikan Ambrosius Degey kepada wartawan media cetak dan elektronik usai melaksanakan evaluasi pada Ulang Tahun Yabimu ke-11 di Sekretariat Yayasan, Kali Harapan, Mei 2006 lalu.

Ia mengaku, selama ini belum sinergis membina kerjasama dengan pemerintah daerah khususnya kepada penentu kebijakan. Namun telah menjalin kerjasama dengan dinas-dinas teknis dalam mewujudkan program dari yayasan kepada masyarakat di daerah ini.


Ia menambahkan, Yabimu dalam menjalankan programnya ke masyarakat, tetap menjalin koordinasi dengan dinas-dinas terkini yang membidangi program lembaga misalnya dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (BPMK), Dinas Kesejahteraan Sosial, Dinas Pendidikan dan Pengajaran, Dinas Perindustrian
, Perdagangan dan Koperasi, dan Dinas Kehutanan Perkebunan. Sementara dengan sesama lembaga swadaya masyarakat adalah dengan PCI dan Primary.

Ambrosius menambahkan, selama menjalin kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat melalui kerjasama dengan pemerintah di tingkat pusat.

Untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan selama 11 tahun ini di Nabire, Yabimu Nabire mengajak stakeholder untuk memberikan evaluasi terhadap eksistensinya di daerah ini. Berbagai saran
dan kritik diterima sebagai sumbangsih positif demi pengembangan yayasan tersebut pada waktu-waktu mendatang menuju kemandirian lembaga.

Kegiatan evaluasi program yang dilaksanakan Sabtu (5/5) pagi di kantor Yabimu, Kali Harapan dihadiri wakil dari gereja, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan pengurus.

Yabimu didirikan dengan misi memberdayakan ekonomi masyarakat kecil, masyarakat yang tak berdaya. Namun dalam perjalanannya berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi secara nasional sehingga selain pemberdayaan ekonomi, juga ikut berperan dalam pen
ingkatan pemahaman tentang demokratisasi, hak asasi manusia (HAM) dan hukum, gender, dan membuka jaringan dengan sesama lembaga swadaya masyarakat.