Rabu, 25 Juli 2007

Banyak Program, Tapi Rakyat Tetap Miskin



Di tengah kesibukan pemerintah menghitung statistik pertumbuhan ekonomi, membuat jalan, pasar, pembangunan kantor-kantor pemerintahan dan pembangunan lainnya, hingga rencana mendigitalkan masyarakat melalui CDMA, terselip ironi kehidupan rakyat yang serba kekurangan. Bagaimana kiprah pemerintah daerah mengentaskan rakyat yang miskin?

Di sudut kota Nabire, ada bangunan kumuh berukuran sekira 2,5 x 4 meter persegi. Sedemikian kecil dan sempit. Begitu masuk, tamu langsung berhadapan dengan deretan lemari dan kasur tipis dilapisi tikar sebagai tempat tidur, satu meja makan yang telah lapuk termakan usia. Tak ada televisi. Fasilitas penerangan dengan lampu yang terbuat dari dari botol Kratingdaeng diisi minyak tanah dan diberikan sumbu. Ruang tamu resmi juga tidak ada. Jika ada yang bertamu ke yang punya rumah akan digelar tikar.

Di petak kecil itulah Gobaimaga (42) tinggal. Ia seorang ibu rumah tangga yang sekaligus pekerja keras sebagai pedagang kecil dengan modal pas-pasan membeli ayam dan tahu untuk dijual di Enarotali dan di daerah pendulangan emas, Wege. Setiap sore Ibu Martina membeli ayam dan tahu di peternakan atau dipasar dengan harga Rp. 20.000,-/ekor sebanyak 5 ekor dengan modal Rp. 100.000,- dan membeli tahu seharga Rp.2.000,-/buah sebanyak 10 buah dengan modal Rp. 20.000,-. Selanjutnya ayam tersebut dimasukkan dalam keranjang dan tahunya di potong seukuran yang telah ditentukan lalu di goreng dan keesokkan paginya, sekitar jam 05:00 pagi, ibu Gobay bergegas mengangkat barang dagangannya dengan menyewa ojek untuk di bawah ke Airport / Bandar Udara Nabire.

Sesampainya di airport, barang dagangan tersebut di kirimkan dengan menggunakan pesawat, kalau nasibnya lagi mujur dagangannya diterima oleh Operator Penerbangan / Jasa Transportasi untuk di kirim ke Enarotali ataupun ke lokasi pendulangan emas dengan ongkos yang berfariasi dengan harga yang sangat tinggi, terkadang uang mereka tidak cukup untuk membayar ongkos angkut pesawat baik Helikopter ataupun Twin Otter, sehingga barang merekapun diturunkan atau dikurangi beratnya, karena tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan tarif angkutan pesawat. Dan yang lebih menyedihkan sekali barang dagangan mereka yang akan dikirim terkadang tidak dilayani, oleh Operator Penerbangan dengan berbagai alasan misalkan ; Angkutan Cargo telah penuh terisi dengan barang dagangan customer lain, barang yang mereka kirimkan tidak layak, kotor, bau. Ataupun juga pihak pencharter tidak menginginkan barangnya dicampur oleh barang dagangan yang lain, hal ini dikarenakan merekalah yang membayar penuh pesawat tersebut, sehingga pihak operator rela untuk tidak melayani dari pada kehilangan marketnya dan masih banyak hal-hal yang lainnya yang selalu menghambat kegiatan usaha Martina.

Terkadang juga mereka dibantu oleh Operator Penerbangan, ataupun pengusaha yang mencharter pesawat. Dengan syarat tarif angkutan pesawat, yang tentukan pencharter. Hal inipun kadang terjadi, dan itupun kalau muatan yang diangkut sangatlah kurang dan hanya untuk menutupi kekurangan muatan pada pesawat.
Hidup dengan menafkahkan 3 anak-anaknya, terlebih hanya berbekal jebolan SD, membuat ekonomi keluarga Martina serba pas-pasan. Bisa dibayangkan, betapa sulit bagi Martina untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum lagi kalau anak-anaknya pada sakit, anak-anak yang seharus menikmati bangku sekolah tidak dapat terpenuhi karena keadaan ekonominya. Bukan hanya Martina yang mengais hidup seperti itu tetapi masih banyak teman-temannya yang berprofesi seperti itu. Kalau ditelusuri mereka tersebut merupakan penduduk asli yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dalam bekerja dan berusaha yang berjuang menghadapi kerasnya kehidupan dengan berbekal ilmu dan pengalaman yang seadanya.

Di wilayah Kota Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai, penduduk yang hidup serba kekurangan seperti Martina sangatlah banyak. Apalagi di Pedalaman Kabupaten Paniai dan Kabupaten Nabire, ratusan dan bahkan bisa mencapai puluhan ribu. Di pedalaman penduduk hidup serba kekurangan, fasilitas pendidikan, kesehatan dan yang lainnya sangat minim dan tidak memadai, hal inipun tambah dipersulit oleh susahnya sarana transportasi baik darat maupun udara. Sebagian besar masyarakat miskin, hidup hanya dengan berharap dari ubi-ubian dari hasil kebun mereka sendiri, tanpa pernah merasakan seperti apa kehidupan masyarakat di kota.

***

Untuk mendefinisikan kemiskinan tersebut, Pemerintah Pusat membuat kriteria berdasarkan beberapa pendekatan. Seperti yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), pemerintah memaknai kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau kelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan secara bermartabat. Pendekatan yang digunakan meluiputi: basic needs (menekankan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar sebagai sumber kemiskinan; income poverty(menekankan keterbatasan kemampuan dasar untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat); social welfare (tekankan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan); serta subjective (cara pandang kemiskinan dari susut orang miskin”, pandangan orang miskin sendiri).

Dari situ disusun beberapa indikator, di antaranya; akses dan mutu pendidikan yang rendah; kesempatan kerja dan berusaha yang terbatas; ketersediaan perumahan dan sanitasi yang minim; lemahnya jaminan rasa aman; lemahnya partisipasi; hingga besarnya beban kependudukan akibat dari besarnya tanggungan keluarga berikut tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.

Dari definisi global dalam definisi keluarga miskin dalam memaknai keluarga miskin, “…orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan.”“Orang miskin itu, lemah dalam segala hal, pendidikan, materi akses dan daya saing. Kalau numpuk jadi satu sangat berat, sudah tidak mempunyai ketrampilan, tidak punya modal itu khan susah.”!

Berangkat dari kerangka pikir ini, maka digulirkanlah berbagai skema program penangulangan kemiskinan. Baik dari Pemerintah Pusat ataupun dari Pemerintah Daerah, secara umum Pemerintah memberikan dua bentuk bantuan. “Jadi bentuk bantuannya bisa dibagi dua. Satu penyelamatan, satunya lagi pengembangan. Yang menyelamatkan itu untuk memperingan beban Pemerintah. Jangka pendek, termasuk RASKIN, kemudian bantuan bea siswa sekolah dan lain-lainnya.

Yang bersifat penyelamatan ini misalnya raskin atau Program Beras Untuk Keluarga Miskin. Raskin diorientasikan sebagai bantuan kesejahteraan sosial atau bantuan perlindungan sosial bagi keluarga miskin. Raskin juga ditujukan untuk menjaga daya tahan pangan gakin agar tetap mampu membeli beras. Programnya berupa penjualan beras murah sebanyak 20 kg/bulan dengan harga Rp. 1.000/kg. Adapun contoh bantuan lainnya BLT (Bantuan Langsung Tunai). BLT merupakan kompensasi pemerintah kepada masyarakat miskin atas dicabutnya subsidi BBM. Dengan BLT diharapkan keluarga miskin tetap bisa mempertahankan daya belinya. Dan masih banyak lagi skema bantuan dari pusat yang sifatnya langsung.

Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk dan memperdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahawan, manajemen, yang disertai pula dengan pendampingan asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia.

Meski telah menerima bantuan seperti BLT, maupun beasiswa untuk sekolah, itu semua belumlah cukup. Naiknya harga BBM membuat harga sembako menjadi berlipat mahal khususnya di daerah pedalaman yang hanya dapat dijangkau dengan transportasi udara. Mahalnya sarana transportasi angkutan sangatlah memperburuk keadaan saudara kita di Pedalaman. Ditambah raskin yang biasa mereka terima kini terhenti”! Akibat dampak dari kenaikan BBM inflasi naik dua kali lipat. Artinya, biaya hidup pasca kenaikan BBM menjadi naik, pengawasan dan pelaksanaan pendistribusian beras raskin tidak jelas, sehingga ada beras raskin yang seharusnya diterima masyarakat dengan harga Rp. 1.000/Kg, akan tetapi terjual di kios-kios di pedalaman dengan harga Rp. 10.000/Kg, sedemikian rupa keadaannya sehingga kian merosotnya derajat hidup masyarakat di pedalaman, sangatlah Ironis”!

Sedari mula, munculnya program seperti BLT atapun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan, malah dimanfaatkan sebagai lumbung koruptor. Hal ini juga memberi gambaran tentang program tersebut yang memberikan dan “dampaknya seperti orang dikasih ikan yang langsung habis. Kalau kita memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari ikan sendiri”.

Bantuan yang sifatnya “ikan” tersebut memiliki imbas buruk. Bisa membuat orang tergantung pada Negara. Mereka pun membandingkan kebijakan jaminan sosial di luar negeri dengan di Indonesia. “Kalau di Belanda memang orang nganggur diberi tunjangan. Tapi orang diberi tunjangan itu malu. Lain halnya dengan Indonesia. Kita diberi SLT Rp. 100 ribu per bulan, semuanya ngaku miskin. Dan kadang pembagian SLT pun udah diatur, sehingga yang berhak menerima tidak kebagian. Apakah hal ini dibedakan karena suasana di Indonesia dengan di sana berbeda.

Agar tidak ada tumpang tindih antar program, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dan revisi terhadap program yang ada. Kalau sudah ada dari pusat dan propinsi, pemerintah daerah agar mengalihkan kepada yang lain, “sesuai kebutuhan. Yang penting ada sinergi dan saling menguatkan.

Seharusnya Pemerintah Daerah membentuk Komite Panangulangan Kemiskinan. Dan KPK berfungsi sebagai badan yang mensinergikan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada di berbagai dinas yang kini sedang berjalan. Demi menjembatani berbagai instansi yang memiliki data masing-masing sesuai dengan tupoksinya. KPK berupaya menyusun pendataan data secara “satu pintu”. Namun pembuatan program berikut dananya tetap dipegang instansi bersangkutan. “Misalnya nanti ada laporan ke KPK tentang anak-anak yang drop out atau tidak dapat melanjutkan sekolah di pedalaman karena keterbatasan fasilitas pendidikan dan biaya, sehingga mereka ingin melanjutkan pendidikan di Kabupaten, kita tinggal mencocokkan ini programnya siapa? Kalau dinas pendidikan, maka kita serahkan kesana.. KPK hanya mengolah dan merekomendasikan data."

Di atas kertas, komitmen Pemerintah untuk mengembangkan ekonomi rakyat tidak diragukan lagi. Setiap masyarakat dibentuk kelompok, diberi modal motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya ditingkatkan, aktivitasnya didampingi serta dikontrol kinerjanya. “Sebenarnya, ini dari sisi pemerintah dulu, untuk UKM pemerintah semakin lama semakin baik. Banyak fasilitas yang diberikan untuk UKM termasuk mengakomodasi yang “mikro” tidak hanya “kecil”. Tetapi memang tatanan implementasinya, kadang-kadang belum tepat sasaran. Dari pengalamannya dalam mendampingi puluhan UKM, di sejumlah daerah banyak UKM yang membutuhkan modal justru tidak mendapatkan bantuan.

Terlepas dari persoalan bentuk bantuan maupun hal-hal teknis lainnya, perlu ditekankan kejelasan paradigma dalam kebijaksanaan penanganan kemiskinan. Faktanya banyak terjadi gejala kontradiktif. Pemerintah giat membantu permodalan UKM tapi disisi lain, kebijaksanaan manaikan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry.

Ini semua merupakan tipikal paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang cepat, sektor modern-padat kapital harus diutamakan demi pertumbuhan pula, investasi industri produksi maupun retail direlakan menggusung tempat tinggal sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin.

Logika, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Dan investasi bisa terjadi jika program rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu menyuntikkan dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet. Perusahaan-perusahaan besar milik konglomerat harus ditolong kredit baru lagi agar pabrik-pabriknya bisa bekerja lagi dan perlahan mulai mengangsur hutangnya. Itu namanya “Neoliberalisme di mana-mana.

Hal inipun berdampak terhadap masyarakat miskin, (Pemerintah) kita menghajar orang miskin, penggusuran di mana-mana, soal tanah dan segala macamnya.

“Kredit itu kan disalurkan melalui bank. Dan mereka minta agunan. Sedangkan rakyat kecil tidak punya angunan. Misalnya disuruh pakai sertifikat tanah. Justru dia itu Landless, tidak punya tanah, kok disuruh pakai sertifikat tanah. Orang kecil butuh kredit, tapi ia harus menunjukkan kalau ia tidak butuh kredit”. Memang urusan kredit tidaklah mudah, terlalu banyak variasi yang bikin repot. “Katakanlah, bank jangan terlalu banyak variasi. Kreditnya satu bangunan aja. Yang penting dijamin Negara. Itu kalau kita mau pro-rakyat’.

Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana Negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, satu lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketidakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi dimana seseorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian”, bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor semacam Word Bank dan IMF, semisal Program Jaminan Pengamanan Sosial (JPS), P2KP, merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.

Semua ini sangat memprihatinkan. Semestinya program pengentasan kemiskinan berkelanjutan, terlembaga, dan memposisikan pemerintah pada peran yang sentral. Skema adjustement sebenarnya meminggirkan peran asli Negara. Demi reformasi ekonomi, seperti yang terjadi, dana publik mesti dialihkan untuk mengobati perbankan milik segelintir penguasa. Sementara untuk mengentaskan orang miskin, “dananya dari hutang”. Sudah begitu, program yang dilakukan semata-mata sebagai “penyesuaian” sebelum diterapkan pasar bebas.

Persoalan kemiskinan, bukanlah faktur individual melainkan lebih pada tiadanya akses bagi orang miskin atas fasilitas dari kebijakan pemerintah. Fasilitas ini berwujud perlindungan, pengakuan, dan jaminan untuk bisa mencari penghidupan ekonomi. “Yang paling terlihat adalah kasus sektor informal yang tidak diakui identitasnya, lalu keberadaannya disingkirkan dengan operasi ketertiban atau penggusuran dari Satpol PP. Gerobaknya diambil atau trotoarnya dipersempit”. Pemberdayaan ekonomi kelompok masyarakat lemah, dalam hal ini UKM, tak akan banyak berpengaruh jika pengakuan dan jaminan berusaha mereka tidak dijamin.

Dan seharusnya kita perlu mendudukkan dilema kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional. Dalam realitasnya, keduanya tak bisa dipisahkan. “Setelah punya modal, berjualan sayur, ubi pendapatan sehari Rp. 20 ribu. Begitu sakit, tempat jualan atau dagangan semua dijual. Gara-gara apa, nggak ada kartu sehat”.

Bantuan langsung akan membuat orang miskin malas dan tergantung Negara. Syaratnya sasaran, kriteria, mekanisme, semua harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekedar proyek yang sifatnya sporadik. Lebih-lebih hanya sebagai kompensasi dicabutnya subsidi tertentu maupun bagian dari program SAP yang dananya hutang.

“Bagi kita, kalau rakyat miskin mau sejahtera harus dipenuhi hak-hak dasarnya dulu. Tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan kesehatannya diperhatikan. Konsep jangka panjang kita dalah pemenuhan hak-hak dasar dulu, dan kesejahteraan itu akan datang beriringan”. Ini semua tidak bisa ditawar agar jumlah orang miskin saat sebenarnya bisa hidup sejahtera segera berkurang.

Tidak ada komentar: